KONFLIK
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling
memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial
antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya.
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar
anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang
bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa
individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan
lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi
sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak
satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi
berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan
menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat
menciptakan konflik.
A.
Definisi Konflik
Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli.
E Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan
warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat
daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di
antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
E Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat
menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan
konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki
kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama
lain.
E Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam
organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak
menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut
dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam
organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
E Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif
yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada
tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan
individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.
E Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi
antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling
tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
E Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi
hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut.
Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan
menyerang secara negatif (Robbins, 1993).
E Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan
individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam
pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih
individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules,
1994:249).
E Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui
perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984).
E Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni
tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan
yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237;
Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).
E Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan
yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang
berbeda – beda (Devito, 1995:381).
B.
Teori-Teori Konflik
Ada tiga teori konflik yang menonjol dalam ilmu sosial. Pertama
adalah teori konflik C. Gerrtz, yaitu tentang primodialisme, kedua adalah teori
konflik Karl. Marx, yaitu tentang pertentangan kelas, dan ketiga adalah teori konflik
James Scott, yaitu tentang Patron Klien.
1.
Teori
Konflik C. Greetz Tentang Primordialisme
a.
Konflik
politik di sebabkan oleh ikatan primordialisme yang mengalami percampur adukan
antara ke setiaan politik dengan kesetiaan primordial.
b.
Solidaritas
kelompok sangat mempengaruhi konflik politik dapat berkembang.
c.
Sumber
solidaritas kelompok adalah ikatan-ikatan primordial yang menjadi perekat
kelompok primordial bersangkutan.
d.
Ikatan
primordial inilah yang melahirkan sentimen primordial dan kesetiaan primordial.
2.
Teori
Konflik Karl Marx Tentang Pertentangan Kelas
a.
Sejarah
dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang
pertentangan kelas”, sebagaimana yang tertulis dalam kalimat pembuka dari
Manifesto Komunis.
b.
Kapitalisme
akan berakhir karena aksi yang terorganisasi dari kelas kerja Internasional.
c.
Komunisme
untuk kita bukanlah hubungan yang diciptakan oleh negara, tetapi merupakan cara
ideal untuk bernegara.
d.
Hasil
dari pergerakan ini yang akan mengatur dirinya sendiri secara otomatis.
3.
Teori
Konflik James Scott Tentang Patron Klien
a.
Sekelompok
informal figur yang berkuasa dan memiliki posisi memberikan rasa aman, pengaruh
atau keduanya. Sebagai imbalan, pengikutnya memberikan loyalitas dan bantuan
pribadi kepada patronnya.
4.
Teori
Kontrol
Berbeda dengan
teori-teori yang lain. Teori kontrol tidak lagi
mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi mengubah
pertanyaan tersebut menjadi; mengapa tidak semua orang melanggar hukum
atau mengapa orang taat pada hukum.
mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi mengubah
pertanyaan tersebut menjadi; mengapa tidak semua orang melanggar hukum
atau mengapa orang taat pada hukum.
Ditinjau dari
sosiologi kejahatan merupakan suatu persoalan yang paling serius
atau penting dalam hal timbulnya disorganisasi sosial, karena penjahat-penjahat itu
sebenarnya melakukan perbuatan-perbuatan yang mengancam dasar-dasar dari
pemerintah, hukum, ketertiban dan kesejahteraan umum.
atau penting dalam hal timbulnya disorganisasi sosial, karena penjahat-penjahat itu
sebenarnya melakukan perbuatan-perbuatan yang mengancam dasar-dasar dari
pemerintah, hukum, ketertiban dan kesejahteraan umum.
a.
Attachment
Attachment (Kasih sayang) merupakan keterkaitan emosional yang
tercipta dalam hubungan orang lain, khususnya dengan orang-orang terdekatnya.
Pada umumnya, dalam kehidupan keluarga akan tercipta keterkaitan emosional
antara anak dengan orang tuanya. Kuat lemahnya ikatan emosional ini akan
berpengaruh pada perilaku masing-masing pihak tersebut.
Menurut Hirschi, attachment merupakan pedoman/keterikatan setiap
individu untuk berperilaku conform sesuai dengan norma masyarakat. Individu
akan memperhitungkan segala kemungkinan yang mungkin terjadi sebelum dia
memutuskan apakah akan berperilaku conform atau menyimpang.
b.
Commitment
Commitment (Keterikatan), sebagai pedoman bertingkah laku conform
bagi individu. Menurut Hirschi, sebelum individu memutuskan untuk melakukan
penyimpangan, mereka menghitung apa yang harus mereka hilangkan ketika mereka
mendapatkan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa individu akan
memperhitungkan untung dan ruginya ketika akan melakukan perbuatan. Individu
yang mempunyai keterikatan yang tinggi dengan masyarakat dikarenakan, misalnya,
mempunyai pekerjaan yang bagus, keluarga yang membanggakan, dan mempunyai
kedudukan yang terhormat dalam masyarakat, maka dia cenderung akan berperilaku
conform. Tetapi sebaliknya, bila dia mempunyai hal-hal baik yang bisa
membuatnya mempunnyai keterkaitan kuat dengan masyarakat, maka dia pun
cenderung akan melakukan penyimpangan. Seperti juga yang di ungkapkan oleh
William J. Goode:
Anggota keluarga dapat menilai bagaimana pribadi itu mengatur waktu
dan uangnya dalam berbagai aktivitas. Akibatnya, keluarga berlaku sebagai suatu
sumber tekanan padanya untuk menyesuaikan diri agar bekerja lebih keras dan
mengurangi bermain, atau mengurangi kunjungan ke gereja dan lebih banyak
belajar. Dalam semua itu keluarga merupakan alat atau perantara masyarakat yang
lebih besar itu tidak akan tercapai secara tepat guna.
c.
Involvement
Involvement (Keterlibatan), menunjukkan seberapa banyak waktu yang
digunakan oleh individu menghabiskan aktivitas yang konvensional. Apabila
seseorang secara total terlibat dalam aktivitas conform (seperti sekolah,
olahraga, gereja, pekerjaan paruh waktu),
secara sederhana mereka tidak mempunyai waktu untuk melakukan
penyimpangan. Batas yang mencegah dilakukan penyimpangan adalah bagaimana waktu
menjadi bagian dari tingkah laku seseorang.
Dengan kata lain, involvement dapat diartikan sebagai keterlibatan
individu dalam kegiatan-kegiatan yang ada dalam masyarakat. Masyarakat dapat
dijadikan wahana untuk mengekspresikan segala potensi positif yang ada dalam
diri setiap individu. Semakin tinggi keterlibatan individu dengan kegiatan
dalam masyarakat, maka semakin kecil kecenderungan individu tersebut melakukan
penyimpangan. Sebaliknya, semakin sedikit individu terlibat dalam kegiatan
dalam masyarakat, maka semakin tinggi kemungkinan individu tersebut melakukan
penyimpangan.
Keterlibatan individu tersebut dapat dituangkan baik dalam kegiatan
sekolah, keluarga, teman bermain maupun kemasyarakatan. Dengan adanya
keterlibatan tersebut akan menumbuhkan keterikatan dalam diri setiap individu
tersebut dengan lingkungannya yang pada akhirnya dapat menjadi “rem” untuk
tidak melakukan penyimpangan.
Keluarga sebagai agen sosialisasi pertama mempunyai peran yang
sangat penting untuk memberikan perhatian dan kasih sayang terhadap anak.
Keluarga juga harus dapat memberikan bimbingan terhadap anak yang notabenenya
merupakan individu yang sangat labil. Dengan kasih sayang, perhatian, dan
bimbingan orang tua secara intensif maka dapat dihindarkan anak yang
berperilaku menyimpang.
d.
Belief
Belief (Kepercayaan), menunjukan seberapa besar seseorang
mempercayai kebenaran moral hukum. Beberapa orang percaya bahwa hukum akan
eksis apabila mereka benar. Mereka mempresentasikan kedalam nilai moral yang
seharusnya tidak dapat ditawar.
Belief dapat diartikan sebagai rasa kepercayaan individu terhadap
hukum yang berlaku. Hukum dianggap sebagai representasi dari nilai dan norma
yang ada dalam masyarakat. Keberadaan hukum dianggap sebagai sarana untuk
memberi batasan tingkah laku yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Pelanggaran
terhadap hukum akan mendapat sanksi sesuai dengan yang telah di tetapkan.
Dengan demikian, kepercayaan terhadap hukum akan membatasi setiap
individu untuk tidak melakukan pelanggaran atau penyimpangan. Semakin tinggi
kepercayaan individu terhadap hukum, maka semakin rendah keinginan untuk
melakukan pelanggaran atau penyimpangan. Demikian juga sebaliknya, semakin
rendah kepercayaan individu terhadap hukum maka akan semakin tinggi kemungkinan
untu melakukan pelanggaran atau penyimpangan.
Berkaitan dengan maraknya kasus pembunuhan yang dilakuakan oleh
anak kandung terhadap orang tuanya, berdasarkan teori yang dikemukakan oleh
Hirschi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi hubungan yang tidak
harmonis dalam keluarga. Pembunuhan tersebut dapat disebabkan karena pelaku
pembunuhan seudah menghitung untung rugi yang akan didapatkannya (commitment),
tidak adanya kasih sayang yang mampu mengikatnya (attachment), tidak adanya
keterlibatan dengan kegiatan konvensional (involvement), dan tidak adanya
kepercayaan terhadap norma hukum yang berlaku (belief).
5.
Teori
Konflik Ralf Dohrendorf
Dahrendorf merupakan
penerus dan pengembang dari Teori Konflik Karl Marx. Dilahirkan di Hamburg
Jerman pada tahun 1929. Awalnya Dahrendorf mempelajari filsafat dan sastra
klasik di Hamburg sedangkan ilmu sosiologi dipelajarinya di London Inggris.
Karyanya yang paling popular adalah buku berjudul Class and Class Conflict
in Industrial Society yang diterbitkan pada tahun 1959. Sebagai orang
dilahirkan pada masa perang dunia pertama sangat mempengaruhi pemikiran
Dahrendorf dan terlibat dalam akitivitas politik di Jerman Barat hingga
akhirnya pernah menjadi anggota parlemen Jerman Barat.Sedangkan karir akademis
yang pernah diraihnya adalah menjadi direktur London School of Economics di
Inggris.
Pemikiran Dahrendorf Tentang Konflik
Tokoh yang
mempengaruhi pemikiran Dahrendorf adalah Karl Marx. Dia mengambil gagasan dasar
dari teori, hipotesis, dan konsep-konsep Marx. Seperti halnya dengan ahli
lainnya, lahirnya teori konflik merupakan kritik terhadap teori struktural
fungsional dimana teori ini menekankan bahwa masyarakat disusun atas ketertiban
dan keteraturan pada struktur. Para penganut aliran teori konflik mengkritisi
teori structural fungsional dengan mengatakan bahwa teori tersebut mengabaikan
konflik yang terjadi pada masyarakat. Marx sebagai tokoh utama dan pertama teori
konflik ini melihat bahwa masyarakat tersusun atas dua kelas yaitu borjuis
(penguasa dan pemilik modal) dan proletar (masyarakat kelas rendah). Kedua
kelas ini saling bertentangan terutama oleh dalam memperjuangkan sumber-sumber
ekonomi.
Teori
fungsionalis cenderung melihat masyarakat secara informal diikat oleh norma,
nilai, dan moral. Sedangkan teori konflik melihat bahwa seluruh keteraturan
dalam masyarakat disebabkan adanya pemaksaan terhadap anggotanya oleh para
penguasa. Merujuk pada konsep Marx hal ini berarti masyarakat proletar hidup
dan bertingkah laku karena adanya pemaksaan untuk melaksanakan aturan-aturan
yang ditetapkan oleh kaum burjuis. Golongan fungsionalis fokus pada kohesi yang
diciptakan oleh nilai bersama dalam masyarakat. Sedangkan kritik teori konflik
memfokuskan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam
masyarakat.
Selain
mengkritik teori fungsional struktural tradisional yang dibangun oleh Talcot
Parsons karena gagal memahami masalah perubahan, Dahrendorf juga mengkritik
toeri konflik Marx. Jika Marx bersandar pada pemilikan alat produksi, maka
Dahrendorf bersandar pada kontrol atas alat produksi. Dalam terminologi
Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat produksi (baik
sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi.
Dia membangun teori konflik dengan separuh penolakan, separuh penerimaan,
dan modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Dahrendorf mula-mula melihat teori
konflik sebagai teori parsial, menganggap teori itu merupakan perspektif yang
dapat dipakai menganalisa fenomena sosial. Teori kelas Marx dan teori
konfliknya hanya relevan pada awal kapitalisme (awal revolusi industri) dan
tidak lagi sesuai dengan masyarakat industry post kapitalis. Dahrendorf
berpendapat bahwa pekerjaan masyarakat semakin heterogen karena adanya
peningkatan keterampilan, peningkatan persamaan, dan arti hak-hak warga dalam
politik, peningkatan kemakmuran materiil masyarakat, peningkatan upah kerja,
dan berdirinya berbagai mekanisme institusional dalam membahas isu konflik.
Pemikiran Dahrendorf ini lebih bersifat umum karena bisa diterapkan pada
masyarakat kapitalis maupun sosialis yang berpusat pada struktur otoritas
perusahaan industry dari pola kepemilikan.
Dahrendorf
telah melahirkan kritik penting terhadap kegagalan dalam menganalisa masalah
konflik sosial. Dia menegaskan bahwa proses konflik sosial itu merupakan kunci
bagi struktur sosial. Bersama Coser, Dahrendorf telah berperan sebagai corong
teoritis utama yang menganjurkan agar perspektif konflik di pergunakan dalam
rangka memahami dengan baik fenomena sosial.
Pemikiran
Dahrendorf mengenai konflik dapat dikelompokkan dalam tiga bagian:
Dekomposisi
modal, menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang
dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh
merupakan contoh dari dekomposisi modal.
Dekomposisi
Tenaga kerja, di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang
atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya
seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak
mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi,
manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya
agar berkembang dengan baik.
Timbulnya kelas
menengah baru, pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan
susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang
buruh biasa berada di bawah.
Pemikiran
Dahrendorf juga dipengaruhi oleh Max Weber terutama dalam melahirkan
konsep kekuasaan dan otoritasnya. Kekuasaan diartikan sebagai kemampuan untuk
memaksakan kemauan seseorang meskipun mendapat perlawanan. Sedangkan
otoritas diartikan sebagai hak yang sah untuk mengharapkan kepatuhan. Dalam konsep
otoritas disebutkan bahwa yang menjalankan otoritas dan yang tunduk pada
otoritas tersebut mempunyai kepentingan yang bertentangan sehingga orang yang
menyadari akan kepentingan kelasnya dan membentuk kelompok konflik kelas untuk
mengubah struktur otoritas tersebut. Otoritas tidak terletak dalam diri
seseorang melainkan pada posisi. Letak otoritas ini pada posisi menyebabkan
sifat otoritas tentatif dan dapat berubah pada tempat dan waktu yang berbeda.
Sebagai contoh seorang wali nagari pada satu nagari tidak memiliki otoritas di
nagari lain.
Dahrendorf
menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur
otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh
sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang terlibat
di dalamnya. Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk kemudian menantang
kelas sosial lainnya.
Dahrendorf juga
menganalisis hubungan antara kelompok, konflik, dan perubahan. Menurutnya ada
tiga tipe kelompok yaitu:
Ø kelompok semu yaitu sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan
yang sama;
Ø kelompok kepentingan yaitu kelompok yang memiliki struktur, bentuk
organisasi, tujuan atau program dan anggota perorangan. Kelompok ini merupakan
agen riil dari konflik kelompok;
Ø kelompok konflik, yaitu kelompok yang terlibat dalam konflik
kelomok actual.
Kelompok-kelompok
tersebut merupakan konsep dasar untuk menjelaskan konflik sosial. Kelompok
dalam masyarakat tidak pernah berada dalam posisi ideal sehingga selalu ada
factor yang mempengaruhi terjadinya konflik sosial. Berkaitan dengan ini
Dahrendorf mengatakan, jika anggota kelompok direkrut secara acak dan
ditentukan oleh peluang, kelompok kepentingan dan kelompok konflik tidak akan
muncul. Jika rekrutmen anggota kelompok berdasarkan struktur akan sangat
memungkinkan munculnya kelompok kepentingan hingga kelompok konflik.
Berkaitan
dengan perubahan, Dahrendorf mengatakan bahwa konflik akan menyebabkan
perubahan dan perkembangan. Setelah konflik selesai, anggota masyarakat akan
melakukan perubahan dalam struktur sosial. Jika konflik yang terjadi sangat
besar akan menyebabkan perubahan yang radikal dan bila konflik disertai tindak
kekerasan akan menyebabkan perubahan struktur yang tiba-tiba.
2 komentar:
Wow, I wanna say thanks... :)
this article is very helpful
Thx
Posting Komentar